Ridho kah Dia?




-Salim A. Fillah-


satu waktu, sudah lama sekali
seseorang berkata dengan wajah sendu
“alangkah beratnya.. alangkah banyak rintangan..
alangkah berbilang sandungan.. alangkah rumitnya.”

***
aku bertanya, “lalu?
dia menatapku dalam-dalam, lalu menunduk




“apakah sebaiknya kuhentikan saja ikhtiar ini?”

“hanya karena itu kau menyerah kawan?”

aku bertanya meski tak begitu yakin apakah aku sanggup

menghadapi selaksa badai ujian dalam ikhtiar seperti dialaminya

“yah.. bagaimana lagi? tidakkah semua hadangan ini pertanda bahwa


Allah tak meridhainya?”


***


aku membersamainya menghela nafas panjang

lalu bertanya, “andai Muhammad, shallaLlahu ‘alaihi wa sallam berfikir

sebagaimana engkau menalar, akan adakah islam di muka bumi?”

“maksudmu akhi?”, ia terbelalak


***

“ya. andai muhammad berfikir bahwa banyak kesulitan

berarti tak diridhai Allah, bukankah ia akan berhenti di awal-awal risalah?”

***


ada banyak titik sepertimu saat ini, saat muhammad

bisa mempertimbangkan untuk menghentikan ikhtiar

mungkin saat dalam ruku’nya ia dijerat di bagian leher

mungkin saat ia sujud lalu kepalanya disiram isi perut unta

mungkin saat ia bangkit dari duduk lalu dahinya disambar batu

mungkin saat ia dikatai gila, penyair, dukun, dan tukang sihir

mungkin saat ia dan keluarga diboikot total di syi’b Abi Thalib

mungkin saat ia saksikan sahabat-sahabatnya disiksa di depan mata

atau saat paman terkasih dan isteri tersayang berpulang

atau justru saat dunia ditawarkan padanya; tahta, harta, wanita..”

***

“jika muhammad berfikir sebagaimana engkau menalar

tidakkah ia punya banyak saat untuk memilih berhenti?

tapi muhammad tahu kawan

ridha Allah tak terletak pada sulit atau mudahnya

berat atau ringannya, bahagia atau deritanya

senyum atau lukanya, tawa atau tangisnya”

***


“ridha Allah terletak pada

apakah kita mentaatiNya

dalam menghadapi semua itu

apakah kita berjalan dengan menjaga perintah dan larangNya

dalam semua keadaan dan ikhtiar yang kita lakukan..”

1 comment: