Takbir Ke(me)nangan

Allaahu Akbar Allaahu Akbar.. Allaahu Akbar..
Laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar..
Allaahu Akbar, walillaaahil hamd..

Foto dari sini


Gema takbir selalu terasa istimewa, lafaznya, juga iramanya. Meskipun, kini kondisinya tidak lagi sama.

Duluu sekali, suara takbir dari mushola bersahut-sahutan. Sahut-menyahut dalam arti yang sesungguhnya. Sebab jarak mushola satu dan yang lain begitu berdekatan.

Pada masa itu ada ibu, sumber kebahagiaan kami, yang sibuk  menghangatkan opor ayam, semur, serta rendang. Wangi masakan menyeruak memenuhi seisi rumah. Sementara di dapur, penuh dengan panci juga ketupat yang tergantung saling-silang.

Belum lagi acara menata meja di ruang tamu kami yang tidak seberapa. Kue-kue kering berjejer rapi di dalam toples-toples cantik. Kaleng-kaleng wafer dan sirup juga tersedia.

Semakin malam, ibu semakin sibuk menyeterika baju kami berlima. Selanjutnya, satu per satu baju-baju baru digantung bersisihan. Agar bisa digunakan sholat Ied esok hari.

Maka kala itu, hati anak kecil seperti saya, girang bukan kepalang. Sungguh tidak sabar memakai baju lebaran. Berjalan sekeluarga beriringan menuju lapangan untuk melaksanakan sholat Iedul Fitri.  Bangga dengan pakaian baru yang kami kenakan.

Ya, baju baru yang hanya bisa dibeli saat momen lebaran tiba. Maklum saja, kami lima bersaudara, sehingga seringkali, beli baju baru jadi momen langka. Tidak mengapa. Sebab itulah kami jadi begitu bergembira.

Lalu kini, saya sudah jadi ibu beranak dua. Meskipun, salah satunya telah kembali kepada-Nya. Kini, sembari menemani anak kedua, saya dibawa bernostalgia. Meskipun kali ini, malam takbiran dihabiskan di rumah ibu mertua. 

Maka, meski berada di tempat berbeda dalam kondisi yg berbeda pula, rasa yang hadir tetap saja sama.Ketika mendengar suara takbiran, misalnya, teringat almarhumah ibu yg sedang menyeterika pakaian sembari sesekali ikut menyenandungkan takbir..

Ketika melihat ketupat dan opor ayam, teringat ibu yang dulu sibuk menghangatkan masakan yg telah jadi sedari siang. Katanya, supaya tidak lekas basi dimakan pada hari-hari lebaran. 

Tak lupa ibu meminta kami berlima untuk bergantian mengawasi. Kalau-kalau, kuah dalam panci telah mendidih. Supaya segera diganti dengan panci berisi masakan lain yg sama-sama menunggu antrian untuk dipanaskan.

Malam takbiran entah kenapa selalu sulit untuk terpejam. Jika dulu karena tak sabaran pakai baju baru dan makan opor ayam, kali ini bukan.

Barangkali, karena banyaknya ingatan yang berseliweran dalam pikiran. Terlalu banyak rasa yang datang, akibat kenangan malam takbiran.

Selain begitu rindu dengan masa-masa Ramadan yang sudah berlalu, ada juga rindu untuk ibu. Sumber kebahagiaan kami yang kini telah berpulang.

Enam kali lebaran tanpamu, duhai ibu..

Allahummaghfirlahaa warhamha wa'aafiha wa'fu'anha..