Tahukah Engkau?

Gambar dari sini

Ayah, taukah engkau?
Sejak dulu, engkau bukan yang paling utama. Semasa kecil, bagi kami, anak-anak perempuanmu, ibu selalu menempati posisi pertama. Sementara engkau, boleh berpuas berada di urutan kedua.

Lalu, ayah.
Saat kami telah menikah, engkau lagi-lagi bukan jadi yang utama. Sebab posisimu tergeser dengan keberadaan suami-suami kami.

Padahal ayah, sungguh. Engkau telah memberikan begitu banyak kebaikan. Jauh, dibandingkan secuil penghargaan kami kepadamu.

Darimu, aku begitu menyukai hafalan surah An-Naba, juga Al-Balad. Bahkan saat otak kecilku belum pandai menghafal rangkaian perkalian.

Bagaimana tidak? Caramu melagukan tiap-tiap surah pendek semasa sholat berjamaah dulu, begitu berkesan hingga sekarang.

Begitupun saat engkau mengumpulkan kami,anak-anakmu, untuk bergantian membaca surah pendek, selepas sholat subuh di masa-masa Ramadan kami.

Lalu, ayah.
Darimu juga aku belajar tentang keberanian. Sehingga aku yang pemalu, bisa berbangga memperoleh piala lomba membaca sajak, bahkan sejak di taman kanak-kanak.

Engkau lihat gigiku yang tidak berlubang hingga kini, bukan? Itu karena aku tidak pernah berani menafikan laranganmu memakan jajanan yang engkau sebut sebagai perusak gigi.

Akupun tidak pernah bisa berbohong. Sebab, dihadapanmu, seolah segala hal tersingkap jelas. Ya, wibawamu begitu terasa. Bahkan saat engkau tidak hadir membersamai. Sehingga aku tak pernah berani berbuat hal yang engkau tak suka. Seakan-akan engkau selalu hadir mengawasi.

Namun ayah, kelembutanmu pada ibu, bisa kami rasakan. Bagaimana gemarnya engkau menyediakan teh hangat untuk ibu tanpa diminta. Mencandai ibu, termasuk juga kebiasaanmu memijit tubuh ibu yang kelelahan. Hal itu bahkan membuat aku berdoa agar suamiku kelak mau berbuat hal yang sama.

Dan tahukah ayah?
Doaku dikabulkan! Sebab menantu ayah, juga gemar melakukan hal yang sama.😊

Selain itu,
Aku masih ingat betul, masa dimana engkau begitu memperhatikan asupan kami. Bagimu, hemat itu tidak berlaku pada menu makan kami.

Kami tahu, keterbatasan dana  tidak serta merta membuat engkau menyerah memberikan nutrisi terbaik kepada kami. Susu, ikan, sayur, dan madu jadi menu wajib yang harus selalu ada.

Akupun mengagumi keringanan tangan dan hatimu untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Mencuci, mengepel, hingga memasak. Kepiawaianmu bahkan mampu mengalahkan kerja kami, anak perempuanmu.

Taukah ayah?
Hal yang membuat kami rapuh adalah saat engkau begitu rapuh sepeninggal ibu. Kami bahkan bisa melihat jelas perubahan fisikmu yang begitu drastis saat ibu pergi mendahului kita. Engkau jadi cepat terlihat tua.

Kamipun masih ingat, kala pemakaman ibu, engkau begitu tegar. Seolah tak ada guratan kesedihan pada wajahmu. Namun, kami baru menyadari setelahnya, bahwa engkau hanya tak ingin terlihat cengeng di depan kami, anak-anakmu.

Sebab  setelahnya, kami memergokimu menangis terisak dengan bahu terguncang, kala waktu subuh belum juga tiba. Sembari menggantikan rutinitas pekerjaan yang biasa ibu lakukan. Saat itu, kami tau, engkau tengah mengingat ibu.

Ayah,sungguh kami begitu mengagumimu. Meski sungkan bagi kami untuk mengungkapkan. Perhatianmu pada ibu, juga pada kami. Lima tahun sudah, engkau hidup tanpa istri tercintamu. Namun, kami anak-anakmu masih saja menyusahkanmu.

Bahagialah ayah, di dunia, juga di akhirat.
Doa terbaik kami, untukmu, juga untuk ibu. Selalu.







Takbir Ke(me)nangan

Allaahu Akbar Allaahu Akbar.. Allaahu Akbar..
Laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar..
Allaahu Akbar, walillaaahil hamd..

Foto dari sini


Gema takbir selalu terasa istimewa, lafaznya, juga iramanya. Meskipun, kini kondisinya tidak lagi sama.

Duluu sekali, suara takbir dari mushola bersahut-sahutan. Sahut-menyahut dalam arti yang sesungguhnya. Sebab jarak mushola satu dan yang lain begitu berdekatan.

Pada masa itu ada ibu, sumber kebahagiaan kami, yang sibuk  menghangatkan opor ayam, semur, serta rendang. Wangi masakan menyeruak memenuhi seisi rumah. Sementara di dapur, penuh dengan panci juga ketupat yang tergantung saling-silang.

Belum lagi acara menata meja di ruang tamu kami yang tidak seberapa. Kue-kue kering berjejer rapi di dalam toples-toples cantik. Kaleng-kaleng wafer dan sirup juga tersedia.

Semakin malam, ibu semakin sibuk menyeterika baju kami berlima. Selanjutnya, satu per satu baju-baju baru digantung bersisihan. Agar bisa digunakan sholat Ied esok hari.

Maka kala itu, hati anak kecil seperti saya, girang bukan kepalang. Sungguh tidak sabar memakai baju lebaran. Berjalan sekeluarga beriringan menuju lapangan untuk melaksanakan sholat Iedul Fitri.  Bangga dengan pakaian baru yang kami kenakan.

Ya, baju baru yang hanya bisa dibeli saat momen lebaran tiba. Maklum saja, kami lima bersaudara, sehingga seringkali, beli baju baru jadi momen langka. Tidak mengapa. Sebab itulah kami jadi begitu bergembira.

Lalu kini, saya sudah jadi ibu beranak dua. Meskipun, salah satunya telah kembali kepada-Nya. Kini, sembari menemani anak kedua, saya dibawa bernostalgia. Meskipun kali ini, malam takbiran dihabiskan di rumah ibu mertua. 

Maka, meski berada di tempat berbeda dalam kondisi yg berbeda pula, rasa yang hadir tetap saja sama.Ketika mendengar suara takbiran, misalnya, teringat almarhumah ibu yg sedang menyeterika pakaian sembari sesekali ikut menyenandungkan takbir..

Ketika melihat ketupat dan opor ayam, teringat ibu yang dulu sibuk menghangatkan masakan yg telah jadi sedari siang. Katanya, supaya tidak lekas basi dimakan pada hari-hari lebaran. 

Tak lupa ibu meminta kami berlima untuk bergantian mengawasi. Kalau-kalau, kuah dalam panci telah mendidih. Supaya segera diganti dengan panci berisi masakan lain yg sama-sama menunggu antrian untuk dipanaskan.

Malam takbiran entah kenapa selalu sulit untuk terpejam. Jika dulu karena tak sabaran pakai baju baru dan makan opor ayam, kali ini bukan.

Barangkali, karena banyaknya ingatan yang berseliweran dalam pikiran. Terlalu banyak rasa yang datang, akibat kenangan malam takbiran.

Selain begitu rindu dengan masa-masa Ramadan yang sudah berlalu, ada juga rindu untuk ibu. Sumber kebahagiaan kami yang kini telah berpulang.

Enam kali lebaran tanpamu, duhai ibu..

Allahummaghfirlahaa warhamha wa'aafiha wa'fu'anha..




Wangi Jejakmu

Hari itu sekolah diliput salah satu media Islam. Majalah Sabili namanya. Pasalnya, sekolah dasar negeri itu bak sekolah muslim. Para pelajar putrinya ramai mengenakan kerudung.

Pada masa itu, sekolah negeri di Jakarta belum menerapkan aturan pakaian Muslim pada hari Jumat. Kerudungpun belum marak digunakan seperti sekarang. Otomatis, fenomena ini jadi barang langka.

Kepada Sabili, para pelajar putri menceritakan bagaimana guru agama mereka, berulang kali menyisipkan nilai tentang kewajiban berhijab. Upaya sang guru rupaya mampu menggerakan para siswinya untuk mengenakan hijab. Bukan hanya satu-dua, melainkan hampir seluruhnya.

Saat Sabili mengambil gambar suasana sekolah, tampak beberapa siswi tak berkerudung menunduk malu. Bukan karena mereka tidak mau berhijab. Hari itu, mereka terpaksa melepas hijabnya. Sebab, kain kerudung satu-satunya yang mereka miliki sedang dicuci. Cuci kering pakai.

Setelah majalah diterbitkan, sekolah kebanjiran bantuan. Mulai dari kerudung, hingga berupa uang tunai. Sebagai apresiasi, profil sang guru dimuat besar-besar pada halaman majalah, .

Berbicara tentang sang guru, ada banyak kisah yang bisa saya bagikan tentangnya. Setiap kali jadwal mengajar, misalnya, sang guru telah menyusun rencana ajar jauh-jauh hari. Jika disibukkan urusan domestik dan kuliah, tidak jarang sang guru perlu lembur untuk mempersiapkan bahan ajar esok hari.


Meski lelah, paginya sang guru datang dengan berseri-seri. Agama Islam menjadi mata pelajaran yang diembankan kepadanya. Jangan ditanya respons murid-murid tentangnya. Tiap kali tiba giliran sang guru mengajar, anak-anak girang bukan kepalang.

Penghasilan sang guru tidak seberapa. Tanggungan anaknya saja ada lima. Akan tetapi, jangan ditanya bila ada murid yang kesusahan. Mata jelinya pandai menangkap kegelisahan. Sang murid akan diberi beberapa receh uang tunai agar bisa jajan. Hal itu dilakukan bukan sekali dua.

Sang guru tidak risih saat anak-anak muridnya bergelayut manja. Begitupun yang ramai curhat perkara-perkara sepele. Pernah suatu kali terjadi kasus pencurian di kalangan siswa. Maka, sang murid yang berulah hanya mau mengaku pada sang guru, bukan dengan yang lain. Tertunduk menangis menceritakan kondisinya.

Tidak mengherankan, saat ada acara pemilihan guru favorit, sang guru keluar sebagai pemenangnya. Setiap tahun namanya selalu muncul sebagai juara. Sampai-sampai pada pemilihan berikutnya nama sang guru terpaksa ditahan. Demi memberi kesempatan bagi para guru lainnya.

Di kalangan guru, beliau juga populer. Saat ada kelebihan rejeki, meski tidak seberapa, para rekan guru lainn akan kebagian berkahnya. Apalagi terhadap rekan pengajar honorer yang memiliki gaji tidak seberapa. Beliau akan jadi yang paling pertama menyisihkan kelebihan rejekinya untuk mereka.

Sayangnya, sang guru kini telah tiada. Namun, catatan kenangan yang beliau berikan begitu berharga. Barangkali benar, bahwa Allah mengambil orang-orang baik dengan begitu cepat.

Selamat jalan, wahai ibu guru. Semoga segala kebaikanmu berbuah amal jariah yang tidak pernah henti hingga akhir zaman. Semoga Allah berkenan menempatkan engkau pada tempat terbaik di sisi Nya.

Selamat jalan wahai ibuku,
Kami, anak-anakmu, sangat merindukanmu.